12 April 2012

Rasionalisasi Pembentukan Pendidikan Kejuruan Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Sebagai Salah Satu Jawaban Atas Peluang Kerja di Jawa Timur


1.    Pendahuluan
1.1    Latar Belakang Penulisan Makalah
Jawa Timur merupakan daerah yang memilki potensi industri dan agrobisnis yang cukup tinggi yang sejalan dengan visi untuk menjadi pusat agrobisnis terkemuka dan berdaya saing global. Global memiliki arti bahwa daerah Jawa Timur diharapkan mampu beradaptasi atau tanggap atas segala perubahan yang terjadi di segala aspek kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, jumlah angka pengangguran di Jawa Timur masih cukup tinggi, yaitu mencapai 4,16%, atau hampir 1 juta penduduk Jawa Timur masih belum memiliki pekerjaan (Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2011). Hal ini memunculkan pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi penyebab atas hal tersebut?. Apakah memang pengangguran tersebut benar-benar unemployable men?, atau sebenarnya mereka adalah employable men tetapi tidak ada ruang atau tempat untuk mereka bekerja, atau mungkin sudah tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki?.
Untuk menjawab itu semua, maka harus benar-benar dipahami bagaimana konsep suatu pekerjaan dan wahana macam apa yang pantas bagi para calon pekerja agar mereka benar-benar bisa menjadi employable men. Pekerjaan merupakan suatu bentuk aktifitas yang dicari manusia dimana dari aktifitas tersebut manusia bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap pekerjaan memiliki norma khusus dan praktiknya masing-masing. Kedua hal tersebut dipelajari oleh setiap individu yang terlibat didalam pekerjaan. Melalui hal ini, individu akan menemukan arti, mengidentifikasi, dan mentransformasikannya terhadap pekerjaan yang akan mereka geluti. Selain itu juga perlu dipertimbangkan mengenai dimensi sosial dan personal dalam memahami apakah terdapat pekerjaan yang dibayar, persiapan untuk terlibat dalam pekerjaan tersebut, dan masa kerjanya. (Billet, 2011:85). Saat ini, pola pekerjaan baru yang dipengaruhi dengan adanya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semakin banyak bermunculan dan telah menjadi trend masyarakat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sebuah pekerjaan memiliki kecenderungan muncul atau hilang (kadaluarsa) seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Kemudian, sekolah kejuruan merupakan suatu bentuk wahana pendidikan yang mempersiapkan siswanya untuk terjun di dunia kerja dan mengisi lapangan pekerjaan yang muncul di masyarkat sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (menjadi employable men). Penambahan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Indonesia terus berjalan. Target pemerintah Indonesia di tahun 2012 ada 10 ribu SMK. Penambahan tersebut  tidak lepas dari besarnya animo masyarakat yang ingin masuk SMK. Sampai sekarang sudah tercatat kurang lebih 9.300 SMK yang sudah ada, baik negeri maupun swasta, yang tersebar diseluruh Indonesia (Andre, 2011). Namun apakah dengan adanya penambahan SMK secara kuantitas akan benar-benar mengurangi jumlah pengangguran baik secara makro di seluruh Indonesia ataupun secara mikro di provinsi Jawa Timur?. Sebenarnya bagiamankah rasionalisasi sebenarnya antara pekerjaan dan pendidikan kejuruan?.
Dari masalah yang dijabarkan sebelumnya, maka untuk mempertajam mengenai konsep pekerjaan dan rasionalisasinya terhadap pendidikan kejuruan, dan gambaran mengenai pekerjaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur, maka penulis menyusun makalah dengan judul: Rasionalisasi Pembentukan Pendidikan Kejuruan Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Sebagai Salah Satu Jawaban Atas Peluang Kerja di Jawa Timur.

1.2    Topik Bahasan
a.    Bagaimanakah konsep pekerjaan secara umum?
b.    Bagaimanakah gambaran pekerjaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur?
c.    Bagaimanakah rasionalisasi pendidikan kejuruan terhadap pekerjaan secara umum?
d.   Bagaimanakah rasionalisasi pendidikan kejuruan pada pekerjaan bidang teknologi dan informasi di Jawa Timur?

1.3    Tujuan Penulisan Makalah
a.    Menjelaskan bagaimana konsep pekerjaan secara umum.
b.    Menjelaskan bagaimana gambaran pekerjaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur.
c.    Menjelaskan bagaimana rasionalisasi pendidikan kejuruan terhadap pekerjaan secara umum.
d.   Menjelaskan bagaimana rasionalisasi pendidikan kejuruan pada pekerjaan bidang teknologi dan informasi di Jawa Timur.

2.    Pembahasan
2.1    Konsep Pekerjaan Secara Umum
Bekerja (work) adalah sebuah bentuk praktis pemenuhan individu atas tuntutan-tuntutan gejala sosial yang bisa dilakukan di lingkungan berskala kecil seperti rumah, atau skala besar seperti komunitas, tempat kerja, atau institusi pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet, Fenwick, & Somerville (2006:4), yaitu:
“… work is an important culturally-derived practice that beyond exercising culturally-derived need extends into the personal in terms of capacities and associations with supra-personal phenomena, such as social and cultural identity.”
Untuk bekerja, setiap individu membutuhkan wahana yang dapat “membungkus” aktifitas tersebut sehingga dapat dijadikan sebuah identitas (identity). Wahana tersebut disebut dengan istilah pekerjaan. Secara umum, pekerjaan merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pokok penghidupan atau sesuatu yang dilakukan untuk mendapat nafkah (Bahasa, 2008). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pekerjaan merupakan sumber nafkah dari seseorang dan dari nafkah tersebut seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Secara khusus, terdapat dua istilah penting di dalam penyebutan pekerjaan, yaitu vokasi (vocations) dan okupasi (occupations). Kedua istilah tersebut sering disamaartikan, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Dari kedua istilah tersebut dapat ditelaah secara terstruktur posisi pekerjaan sebagai bentuk aktualisasi dari individu sekaligus dari masyarakat. Billet (2011:3) memberikan gamabaran tentang posisi  vokasi sebagai berikut:
“Personally directed and assented but often socially derived practices, that reflect an individual’s enduring aspirations and interests, and are usually manifested in culturally and historically derived activities that may carry worth for both the individual and their community.”
Kemudian Billet (2011:87) menyederhanakan konsep tentang vokasi, yaitu:
“…vocations arise from within individuals’ personal histories or ontogenies, the geneses of occupations are within culture and history.”
Dari pendapat Billet tersebut, dapat diketahui bahwa istilah vokasi lebih menitik beratkan bahwa pekerjaan muncul dari keinginan personal atau individu, pengaruh masyarakat sekitar sedikit sekali untuk membentuk suatu vokasi. Oleh sebab itu istilah vokasi lebih condong disebut sebagai pengabdian, dimana kemauan individu (tekat) lebih mendominasi tanpa memperhatikan implikasi dari pengabdian tersebut terhadap lingkungan di sekitar individu. Di dalam vokasi tidak bisa dipastikan ada upah atau gaji yang bersifat tetap Contoh dari vokasi adalah seseorang yang terpanggil mengabdikan hidupnya untuk memberikan pelayanan di bidang keagamaan dimana di dalam pengabdian tersebut tidak ada paksaan dari pihak-pihak di luar individu tersebut. Contoh lain dari vokasi adalah seseorang yang menjadi penebang pohon karena geografi tempat tinggalnya ada di tengah hutan, dan dengan uang yang dia hasilkan dari penjualan kayu dia bisa membeli bahan makan untuk sehari-hari.  Dalam hal ini, menebang pohon adalah sebuah bentuk pengabdian diri atau panggilan diri, dimana tidak ada pihak atau aspek lain yang menuntut individu tersebut menjadi penebang pohon selain dirinya sendiri dan tidak ada upah untuk dirinya selain uang hasil penjualan kayu yang jumlahnya linier dengan kayu hasil tebangannya.
Di dalam perkembangannya, aktifitas bekerja (work activity) semakin jelas batasan-batasannya, baik dari segi upah maupaun kompetensi-kompetensi apa yang harus dimiliki. Hal ini terjadi karena work activity sangat erat kaitannya dengan perkembangan teknologi dan tututan yang tinggi atas perkembangan status sosial di dalam masyarakat yang semakin kompleks dari masa ke masa. Brown, Kirpal, & Rauner (2007:14) memberikan gambaran tentang perkembangan work activity yang terjadi di dalam masyarakat sebagai berikut:
“As over the past decades working conditions have been constantly improved and legally regulated, work tasks and duties have become clearly defined in time, space and function marking a clear distinction from private time and leisure.”
Maka dari itu, vokasi secara otomatis melakukan spesialisasi dan melahirkan istilah okupasi. Istilah okupasi lebih menitik beratkan bahwa pekerjaan muncul karena ada dominasi tuntutan masyarakat di sekitar individu dan tuntutan dari berbagai aspek lain misalnya ekonomi, budaya, teknologi, dan lain sebagainya. Pekerjaan juga memiliki sifat terus berkembang dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akan selalu ada jenis pekerjaan baru dengan kompetensi baru sebagai kualifikasinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet (2011:84), yaitu:
“…occupations essentially arise from societal imperatives and cultural needs and evolve over time accordingly.”
Selain itu, ada kepastian atau kejelasan upah di dalam okupasi baik dari segi besar upah dan periode untuk mendapatkan upah. Sebagai implikasinya, seorang individu dituntut untuk memiliki sekumpulan kompetensi khusus untuk masuk di dalam suatu okupasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet (2011:87), yaitu:
“Occupations have arisen because of human need for particular sets of skills and capacities. This need does not arise from within individuals, but from within collective need. It is likely that this need arose in quite different ways.”
Karena okupasi merupakan bentuk khusus dari sebuah vokasi maka di dalam okupasi terdapat unsur pengabdian. Sehingga sebuah vokasi belum tentu bisa disebut sebagai okupasi, sedangkan sebuh okupasi bisa disebut sebagai vokasi. Contoh dari okupasi adalah seorang individu yang memiliki pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah sekolah kejuruan dan telah diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Dalam hal ini, posisi guru adalah sebagai okupasi karena ada upah yang jelas, baik besar upah dan periode pemberian upah, dan ada unsur pengabdian yang muncul dari individu. Selain itu di dalam okupasi guru, setiap individu dituntut memiliki berbagai kompetensi khusus dimana dari kompetensi-kompetensi yang dimiliki tersebut dia layak disebut sebagai seorang guru. Untuk lebih memperjelas tentang konsep vokasi dan okupasi, Billet (2011:87) memberikan pendapat, yaitu:
“…vocations arise from within individuals’ personal histories or ontogenies, the geneses of occupations are within culture and history. This distinction differentiates between paid work per se (i.e. occupations) and individuals’ vocations. Occupations have arisen because of human need for particular sets of skills and capacities. This need does not arise from within individuals, but from within collective need.”
 Vokasi memiliki ciri sebagai bentuk atas tuntutan dari individu (inidividulas need) dan okupasi muncul tidak hanya dikarenakan individuals need tetapi juga dikarenakan adanya  tuntutan dari berbagai aspek yang lebih kompleks (collective need). Dengan demikian, istilah pekerjaan yang sering dipakai dalam kehidupan bermasayarakat adalah istilah yang memiliki kesamaan makna dengan okupasi.

2.2    Pekerjaan Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi di Jawa Timur
Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan dimana teknologi tersebut menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global (Rahmana, 2009:B-13). Kemudian menurut Ristek (2006:3), teknologi informasi dan komunikasi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum adalah semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi.
Efisiensi dan efektifitas penyebaran informasi merupakan alasan utama mengapa beberapa bidang kehidupan di lingkungan masyarakat menggunakan produk-produk TIK. Dari hal tersebut secara otomatis memunculkan 2 (dua) implikasi positif di dalam munculnya bidang pekerjaan baru di Indonesia, yaitu: (1) bidang pekerjaan yang selain bidang TIK tetapi menggunakan produk-produk TIK (pengguna produk TIK), seperti bidang pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya; dan (2) bidang pekerjaan yang muncul di bidang TIK itu sendiri (penghasil produk TIK). Penggunaan produk-produk TIK banyak dijumpai dalam bidang bisnis, khusunya untuk membantu efisiensi dan efektifitas administrasi yang berlangsung di dalamnya. Pengaruh teknologi informasi dalam penerapan sistem informasi yang terintegrasi dan dunia bisnis tidak dapat dipisahkan dan saling ketergantungan yang erat (Wijaya, 2011:A-69). Banyak sekali tenaga kerja yang dibutuhkan dan memiliki kompetensi untuk mengoperasikan produk-produk TIK tersebut. Kemudian pada bidang TIK sendiri juga telah banyak muncul jemis-jenis pekerjaan baru, misal adalah bidang rekayasa perangkat lunak, basis data, jaringan komputer, dan lain sebagainya. Secara global hal ini juga memiliki implikasi secara nasional yaitu, banyak industri besar di bidang teknologi informasi dan komunikasi sudah melakukan investasi di Indonesia (IBM, Oracle, Micrsosoft,  SUN Microsystems, INTEL, dll.) (Ristek, 2006:3).  
Sebenarnya apabila dilihat secara lebih fokus, pekerjaan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat bervariasi, menyesuaikan segala bisnis dan kebutuhan pasar, sehingga sangat sulit untuk mencari standarisasi pekerjaan di bidang ini. Namun, setidaknya dapat berdasarkan jenis dan kualifikasi pekerjaan yang ditanganinya. Secara umum, pekerjaan di bidang dapat dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok, antara lain:
1.    Kelompok perangkat lunak (software), baik merancang sistem operasi, database maupun sistem aplikasi. Pada lingkungan ini terdapat pekerjaan-pekerjaan, seperti: (a) Sistem analisis, merupakan orang yang berkompeten untuk menganalisa sistem; (b) Programer, merupakan orang yang berkompeten untuk mengimplementasikan rancangan sistem analisa, yaitu membuat program (baik aplikasi maupun sistem operasi); (c) Web designer, merupakan orang yang berkompeten untuk melakukan kegiatan perencanaan, termasuk studi kelayakan, anlisis dan desain terhadap sesuatu proyek pembuatan aplikasi berbasis web; (d) Web programer, merupakan orang yang berkompeten untuk mengimplementasikan rancangan web designer; dan lain sebagainya.
2.    Kelompok perangkat keras (hardware). Pada kelompok ini terdapat pekerjaan-pekerjaan, seperti: (a) Technical Engineer, sering juga disebut dengan teknisi yaitu orang yang berkompeten dalam bidang teknik, baik mengenai pemeliharan maupun perbaikan perangkat sistem komputer; (b) Networking Engineer, adalah orang yang berkompeten dalam bidang teknis jaringan komputer dari maintenance sampai pada troubleshooting-nya; dan lain sebagainya.
3.    Kelompok operasional sistem informasi. Pada kelompok ini terdapat pekerjaan-pekerjaan, seperti : (a) EDP Operator, adalah orang yang berkompeten untuk mengoperasikan program-program yang berhubungan dengan electronic data processing dalam lingkungan sebuah peusahaan atau organisasi lainnya; (b) System Administrator, merupakan orang yang berkompeten untuk melakukan administrasi terhadap sistem; (c) MIS Director, merupakan orang yang memiliki kompetensi dan wewenang paling tinggi terhadap sebuah sistem informasi, melakukan manajemen terhadap sistem tersebut secara keseluruhan baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya; dan lain sebagainya.
4.    Kelompok pengembangan bisnis teknologi informasi. Pada bagian ini, pekerjaan diidentifikasikan oleh pengelompokan kerja di berbagai sektor di industri teknologi informasi.
Kemudian, menurut LSP (2011), setidaknya ada 5 (lima) jenis Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang membedakan tiap-tiap bidang pekerjaan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, yaitu: (a) SKKNI Operator; (b) SKKNI Programmer; (c) SKKNI Jaringan Komputer dan Sistem; (d) SKKNI Computer Technical Support; dan (e) SKKNI Multimedia. Setiap SKKNI berisi indikator-indikator yang harus dipenuhi agar layak disebut sebagai orang yang kompeten di bidang operator, programming, jaringan komputer dan sistem, computer technical support, atau multimedia.
Jawa Timur, merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang juga mendapatkan implikasi atas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara global baik di bidang usaha milik negara maupun swasta, sehingga bidang usaha tersebut banyak membutuhkan pekerja-pekerja yang berkompeten di dalam bidangnya. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang dibuka dengan kualifikasi kompetensi di bidang teknologi informasi dan komunikasi.  Berdasarkan pada data yang diperoleh dari Indonetwork (2011), ada lebih dari 1500 perusahaan yang telah membuka lowongan pekerjaan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pekerjaan di bidang teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi trend di dalam pergerakan masyarakat di Jawa Timur saat ini.

2.3    Rasionalisasi Pendidikan Kejuruan Terhadap Pekerjaan Secara Umum
Pendidikan merupakan wahana untuk membentuk dan membekali setiap  individu yang terlibat di dalamnya dengan kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup merupakan kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia, dan secara bermartabat di dalam masyarakat (Anwar, 2006:20). Ada 2 jenis kecakapan hidup, yaitu general life skill (umum) dan specific life skill (khusus), dimana keduanya harus diberikan kepada setiap individu. General life skill merupakan kecakapan yang harus dimiliki setiap individu agar hidup dengan baik dan membantu individu untuk memunculkan dan mengenal identitas diri (personal identity). Kecakapan ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu personal life skill dan social life skill. Personal life skill lebih menitik beratkan bagaimana posisi seorang individu sadar akan makhluk Tuhan, sedangankan social life skill lebih menitik beratkan bagaimana posisi individu sebagai bagian dari masyarakat. Kemudian, Specific lifeskill merupakan kecakapan khusus yang diperlukan individu untuk menunjang kehidupannya. Kecakapan ini dibagi menjadi 2, yaitu academic life skill dan vocational life skill. Semua jenis kecakapan hidup tersebut harus diberikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan yang ada. Porsi setiap jenis kecakapan akan menjadi pembeda antara jenis dan jenjang pendidikan yang satu dengan yang lain.
Salah satu bentuk kecakapan hidup yang harus dibekalkan kepada individu yang terlibat di dalam pendidikan adalah kecakapan kejuruan (vocational life skill). Di dalam kecakapan kejuruan, setiap individu benar-benar dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di dalam masyarakat. Kecakapan kejuruan mendapatkan posisi minoritas di dalam lingkungan pendidikan umum dimana pendidikan umum lebih menitik beratkan pada pembekalan jenis kecakapan hidup yang lain, yaitu kecakapan akademik (academic life skill). Maka dari itu, wahana yang paling tepat untuk benar-benar mempersiapkan individu sebagai pekerja yang memiliki keterampilan pada bidang kerja tertentu adalah pendidikan kejuruan, karena di dalamnya didominasi pembekalan kecakapan kejuruan.
Menurut Lauglo & Maclean (2003:6), ada 3 aspek tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan kejuruan, antara lain: (1) Personal development goals, (2) Socio-political goals, dan (3) Economic goals. Personal development goals, bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan aspek moral, estetika, fisik, dan kapasitas/ kemampuan praktik, tidak terdominasi pada aspek kognitif. Secara garis besar konsep ini lebih dikenal dengan bagaimana membekali general life skill kepada tiap individu. Socio-political goals, bahwa secara legal melalui pendidikan kejuruan diharapkan mampu mematahkan penstrataan pekerja dalam kehidupan masyarakat (sosial). Di masyarakat masih ada paradigma bahwa pekerjaan yang mendayagunakan otak dinilai lebih bergengsi daripada pekerja yang mendaagunakan otot. Economic goals, melalui pendidikan kejuruan diharapakan mampu menghasilkan sumber daya manusia terampil dan siap kerja (skilled man) sehingga mampu menyokong perekonimian negara. Secara garis besar konsep ini lebih dikenal dengan bagaimana membekali specific life skill kepada tiap individu.
Aspek yang mendapatkan porsi perhatian terbesar adalah Personal development goals yang berisi aspek moral, estetika, fisik, dan kapasitas/ kemampuan praktik. Apabila aspek ini terpenuhi, maka kedua aspek yang lain akan sangat mudah untuk berprogres. Pavlova (2009:41) memberikan pendapat mengenai keutamaan nilai moral dalam pendidikan kejuruan, yaitu:
“The cognitive component leads to an awareness of the different values and the reasons moral values should be put first. The affective component establishes links between the technological task and students’ feelings by situating technology in a meaningful context. The behavioural component gives students the opportunity to act in accordance with their moral values.”
Pada aspek Personal development goals banyak berbicara mengenai general life skill dimana aspek kognitif berposisi sebagai minoritas sedangkan yang mendominasi adalah aspek afektif dan psikomotor (behavioral) yang mempunyai bermacam indikator, salah satunya adalah moral. Moral merupakan penentu kualitas dari output pendidikan kejuruan. Pekerja yang memilki moral kerja baik adalah spesifikasi ideal untuk setiap pekerjaan.
Dengan demikian, pendidikan kejuruan secara konsep dikenal sebagai pencetak pekerja sekaligus penjawab atas tuntutan sosial atau pasar. Dari segi output, melalui pendidikan kejuruan diharapkan mampu dihasilkan pekerja-pekerja yang benar-benar kompeten di setiap bidangnya dan mampu memenuhi setiap kebutuhan masayarakat akan sumber daya manusia terampil dan siap kerja (skilled man). Dari segi input, pendidikan kejuruan bertugas membekali input-input yang berasal dari masyarakat (unskilled man) dengan keterampilan tertentu dan membantu mereka untuk mengenal identitas personal dan mengarahkan sekaligus memilih pekerjaan yang cocok bagi mereka melalui proses kejuruan (vocational process). Kemudian, konsep pendidikan kejuruan sebagai jembatan (bridge) antara calon pekerja dengan pekerjaan ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pendidikan Kejuruan Sebagai Jembatan antara Calon Pekerja dan Pekerjaan 
Pekerjaan sebagai okupasi, yang dibentuk oleh gejala sosial dan para praktisi ahli, merupakan salah satu alasan pembentuk pendidikan kejuruan.  Hal ini dikarenakan, kompetensi-kompetensi kompleks yang dibutuhkan di dalam pekerjaan harus dibekalkan kepada para calon pekerja sebelum mereka bear-benar terjun di dalam dunia kerja nyata. Di dalam pendidikan kejuruan, identitas diri setiap calon pekerja dimunculkan sehingga mereka memiliki gambaran mengenai kompetensi diri dan identitas okupasi yang koheren dengan kompetensi yang dimiliki. Identitas okupasi merupakan bentuk nyata atau praktis dari kompetensi-kompetesi yang telah di bekalkan kepada calon pekerja sehingga dari kompetensi tersebut muncul keahian yang bersifat unik dan membedakan antara pekerja satu dengan pekerja lain dalam bidang pekerjaan tertentu. Standar dari setiap kompetensi untuk setiap bidang pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda dan penentuannya di tentukan oleh pasar, tempat pelatihan tertentu, atau bahkan muncul secara alami dari setiap individu sebagai refleksi atas tuntutan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet, Fenwick, & Somerville (2006:20), yaitu:
“Transferring these approaches to aspects of occupational identity formation, we are confronted with the dynamics between the institutionalised structures of labour markets, vocational training systems and communities of practice, and the individual’s ability to choose from and to combine certain elements of these structures for constructing her or his occupational identity.”
Di dalam lingkungan pendidikan kejuruan, untuk memunculkan identitas diri dan identitas kerja, para individu (calon pekerja) harus dikondisikan dalam lingkungan yang mencerminkan keadaan lingkungan kerja secara nyata. Maka dari itu sarana dan prasarana yang ada di dalam lingkungan pendidikan minimal harus setara atau mampu mensimulasikan kehidupan kerja secara nyata. Bila hal ini tidak terpenuhi, maka kualitas output dari pendidikan kejuruan akan menjadi pekerja yang kadaluarsa atau tertinggal karena tidak dibiasakan dengan kondisi riil di lapangan selama berada di lingkungan simulasi (simulation environment), yaitu lingkungan pendidikan kejuruan.
Selain menyediakan sarana dan prasarana yang mampu mensimulasikan kondisi riil di lapangan, untuk bisa memunculkan identitas personal dan identitas calon pekerja, pendidikan kejuruan juga bisa melakukan hubungan kerja sama secara sosial dengan pihak luar seperti industri untuk mendelegasikan peserta didiknya masuk ke dalam lingkungan kerja secara nyata. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Catts, Falk, & Wallace (2011:24), yaitu:
“Social partnerships in learning then have a role in developing enacted learner identities and re-engaging regional learners in formal education that meets their purposes.”
Hubungan kerja sama antara pihak SMK dengan  pihak industri dikenal dengan istilah pemagangan. Di dalam Bahasa Inggris, istilah pemagangan disebut dengan istilah apprenticeship, dimana menurut Oxford (1987:16) apprenticeship berasal dari kata apprentice yang memiliki arti person learning a trade atau seseorang yang sedang belajar mengenai sebuah keterampilan yang berhubungan dengan suatu pekerjaan. Selain untuk menajamkan keterampilan yang dimiliki oleh siswa, pemagangan juga berfungsi untuk membentuk tingkah laku (etos kerja) siswa dan memberikan pandangan-pandangan baru mengenai pekerjaan di bidang yang sesuai dengan kompetensinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet, Fenwick, & Somerville (2006:14) mengenai sistem pemagangan yang terjadi di Eropa, yaitu:
“For hundreds of years apprenticeships in the crafts and trade business all over Europe had two main functions. First, to equip a person with some basic skills that would secure an income to sustain a family. The second function was to socialise a person into a community of practice whereby the person would acquire not only skills, but also internalise a certain kind of conduct and outlook.”
Pemagangan, juga merupakan bentuk pembelajaran yang lebih efektif dari pada pembelajaran yang di lakukan di lingkungan SMK sendiri. Siswa secara nyata bisa merasakan kondisi riil atas pekerjaan yang sedang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Catts, Falk, & Wallace (2011:23) mengenai banyaknya suatu hal yang akan di dapatkan oleh siswa dalam pemagangan, seperti ilmu-ilmu yang tidak atau belum sempat didapatkan di SMK dan suasana kerja yang bervariasi, sebagai berikut:
“Social partnerships in learning are the interagency and interdisciplinary relationships that enable effective learning in different disciplines, workplaces and training sites. These relationships attempt to work across diverse knowledge systems and governance structures.”

2.4    Rasionalisasi Pendidikan Kejuruan Pada Pekerjaan Bidang Teknologi dan Informasi di Jawa Timur
Berdasarkan pada uraian konsep mengenai pekerjaan dan rasionalisasinya dengan pendidikan kejuruan di Jawa Timur sebelumnya, maka merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendirikan SMK bidang keahlian teknologi informasi dan komunikasi. Bukan SMK yang hanya “sekedar ada”, tetapi SMK yang benar-benar memiliki kualitas dan bisa dipercaya untuk mencetak pekerja yang memiliki kualitas kompetensi di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Karena kualitas kompetensi tersebut akan dipergunakan untuk menjawab trend tuntutan masyarakat atau pasar kerja saat ini yang lebih membutuhkan para pekerja yang memiliki kompetesi di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
SMK bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur harus mengadakan kerja sama dengan bidang usaha/ perusahaan yang linier. Begitu pula dengan perusahaan bidang teknologi dan informasi di Jawa Timur, pihkanya harus aktif (peduli/care) untuk menjalin hubungan kerja sama dengan SMK-SMK yang linier di Jawa Timur. Diharakan dari hal tersebut akan terjadi link and match dan memberi implikasi positif baik bagi SMK, lulusan SMK, dan perusahaan.           
Kerja sama antara SMK dengan perusahaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur bisa dimulai dari sistem pemagangan. SMK mengirimkan siswanya ke beberapa perusahaan agar para siswa mengerti kondisi riil bagaimana rasanya bila harus benar-benar bekerja di perusahaan bidang teknolgi informasi dan komunikasi. Pihak perusahaan akan memonitor dan bertanggung jawab untuk memberikan informasi atau pengetahuan awal mengenai perkembangan terbaru dan animo atau selera masyarakat atas produk-produk atau layanan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dengan kerja sama pemgangan, diharapkan siswa benar-benar matang dan siap kerja atau terjun ke lapangan untuk mengimplementasikan kompetensi yang dimilikinya pada bidang teknologi informasi dan komunikasi khususnya di daerah Jawa Timur atau sebagai investasi Sumber Daya Manusia (SDM) akan pekerja yang berkompeten bagi perusahaan terkait.
Berdasarkan pada informasi yang diperoleh dari Data Pokok SMK (2011), di daerah Jawa Timur ada 615 SMK, baik negeri maupun swasta, yang membuka bidang keahlian teknologi informasi dan komunikasi. Jumlah yang cukup tinggi tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai: (1) apakah SMK tersebut sudah memenuhi kualifikasi sebagai pencetak pekerja yang berkompeten di bidang teknologi dan informasi baik dari sarana, prasarana, atau hala-hal yang berkaitan dengan manajemen pendidikan yang lain?; (2) apakah lulusannya benar-benar telah terserap di dunia industri atau perusahaan bidang teknologi informasi dan komunikasi?; dan (3) apakah SMK atau perusahaan yang sebidang telah saling melakukan hubungan kerja sama dengan baik sehingga bisa memunculkan link and match antara keduanya?.

3.    Penutup
3.1 Rangkuman
a.    Pekerjaan merupakan suatu bentuk pengabdian yang membutuhkan kompetensi tertentu,  ada sistem upah teratur di dalamnya, muncul karena tuntutan kebutuhan masyarakat akan pekerja yang berkompten pada bidang tertentu, dan bersifat selalu berkembang dari waktu ke waktu.
b.    Jawa Timur salah satu provinsi di Indonesia yang terkena implikasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dimana dari perkembangan tersebut telah memunculkan bidang pekerjaan baru yaitu: (1) bidang pekerjaan yang selain bidang TIK tetapi menggunakan produk-produk TIK (pengguna produk TIK), seperti bidang pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya; dan (2) bidang pekerjaan yang muncul di bidang TIK itu sendiri (penghasil produk TIK).
c.    Pendidikan kejuruan merupakan wahana untuk mempersiapkan siswa dengan membekalinya dengan kompetensi-kompetensi khusus, membantu mengenali diri siswa akan kompetensinya dan pada ahkhirnya membantu siswa untuk mengenal identitas pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya sebelum terjun di dunia industri secara riil.
d.   Pendidikan kejuruan bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan jawaban rasional atas munculnya berbagai variasi peluang kerja pada bidang yang linier di Jawa Timur yang dibentuk atas perkembangan teknolgi dan trend masyarakat atau kebutuhan pasar saat ini.
3.2 Kesimpulan
Hajat utama pendirian SMK bidang teknologi informasi dan komunikasi bukan sebatas pada SMK yang hanya “sekedar ada”, tetapi SMK yang benar-benar memiliki kualitas dan bisa dipercaya untuk mencetak pekerja yang memiliki kualitas kompetensi di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Apabila dilihat secara konseptual yang kemudian dicocokkan dengan gejala-gejala faktual terkini mengenai pergerakan trend pekerjaan di masyarakat Jawa Timur, maka pendidikan kejuruan bidang teknologi informasi dan komunikasi memiliki signifikansi yang tinggi untuk didirikan di daerah Jawa Timur. Hal tersebut merupakan suatu jawaban yang logis atas variasi peluang kerja pada bidang teknologi dan informasi di Jawa Timur yang dibentuk oleh perkembangan teknolgi dan trend masyarakat atau kebutuhan pasar saat ini.

Daftar Rujukan
Andre. 2011. Media Center Kendedes. Target 10 Ribu SMK di Tahun 2012, (Online), (http://mediacenter.malangkota.go.id/2011/03/15/target-10-ribu-smk-di-tahun-2012/), diakses 1 Maret 2012.

Anwar. 2006. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education): Konsep dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.

Badan Pusat Statistik Jawa Timur. Keadaan Ketenagakerjaan Jawa Timur Agustus 2011, (Online), (http://jatim.bps.go.id/?cat=62), diakses 1 Maret 2012.

Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia: KBBI, (Online), (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php), diakses 1 Maret 2012.

Billet, S.  2011. Vocational Education: Purposes, Traditions and Prospects. New York: Springer.

Billet, S., Fenwick, T., & Somerville, M. 2006. Work, Subjectity and Learning: Understanding Learning through Working Life. New York: Springer.

Brown, A., Kirpal, S., & Rauner, F. 2007. Identities at Work. New York: Springer.

Brown, P., Lauder, H., & Ashton, D. 2011. The Global Auction: The Broken Promise of Education, Fobs and Incomes. New York: Oxford University Press.

Catts, R., Falk, I., & Wallace, R. 2011. Vocational Learning: Innovative Theory and Practice. New York: Springer.

Data Pokok SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menegah Kejuruan: Kementrian Pendidikan Nasional, (Online), (http://datapokok.ditpsmk.net/ index.php? nama=&prop=05&kab=&status=&kk=02), diakses 1 Maret 2012.

Fien, J., Maclean, R., & Park, M. 2009. Work, Learning and Sustainable Development: Opportunities and Challenges. New York: Springer.

Indonetwork. 2011. Daftar Perusahaan, (Online), (http://indonetwork.co.id/comp/ Jawa_Timur/Komputer_&_Software/all/0.html), diakses 1 Maret 2012.

Lauglo, J., & Maclean, R.  2003. Vocationalisation of Secondary Education Revisited. New York: Springer.

LSP. 2011. Lembaga Sertifikasi Profesi Telematika, (Online), (http://lsp-telematika.or.id/files/13-1049-2567.php), diakses 1 Maret 2012.

Oxford. 1987. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York: Oxford University Press.

Pavlova, M. 2009. Technology and Vocational Education  for Sustainable Development. New York: Springer.

Rahmana, A. 2009. Peranan Teknologi Informasi Dalam Peningkatan  Daya Saing Usaha Kecil Menengah. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009 (SNATI 2009), (Online), (http://journal.uii.ac.id/ ), diakses 1 Maret 2012.

Ristek. 2006. Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi Tahun 2005-2025. Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Wijaya, S.F. 2011. Pengaruh Teknologi Informasi dan Perubahan Organisasi dalam Bisnis. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2011 (SNATI 2011), (Online), (http://journal.uii.ac.id/), diakses 1 Maret 2012.

Willis, P., McKenzie, S., & Harris, R. 2009. Rethinking Work and Learning: Adult and Vocational Education for Social Sustainability. New York: Springer.