08 February 2012

Konsep Pendidikan Karir di Amerika Serikat dan Refleksinya terhadap Pendidikan Kejuruan di Indonesia




Pendidikan okupasi dan pendidikan karir muncul sebagai tanda bahwa pemerintah Amerika Serikat secara nyata ingin menciptakan pendidikan yang relevan, berkualitas, dan memiliki persamaan kesempatan berkependidikan untuk semua pihak. Pendidikan okupasi muncul terlebih dahulu dengan konsep bahwa pendidikan tersebut memastikan lulusan memiliki keterampilan dalam lingkup pekerjaan yang sempit, sehingga keterampilan bersifat fokus, mendalam, tidak bebas karena bidang kerja telah ditentukaan diawal, dan benar-benar dipersiapkan secara matang sebagai pekerja sehingga kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi masih kurang. Lebih menekankan aspek psikomotor dan sangat kurang memperhatikan aspek afektif dan kognitif pada siswa. Kemudian di dalam perkembangan selanjutnya muncul pendidikan karir, dimana pendidikan tersebut bersifat lebih fleksibel daripada pendidikan okupasi. Siswa tidak hanya dibekali satu macam keterampilan bidang kerja, akan tetapi dibekali dengan bermacam keterampilan yang notabene hanya bersifat dasar sehingga pada akhirnya diharapkan siswa mampu memilih sendiri bidang kerja yang ingin mereka tekuni dan bahkan memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Pada pendidikan karir tidak hanya memperhatikan aspek psikomotor saja, melainkan juga sangat memperhatikan aspek afektif dan kognitif setiap individu.
Ada 2 (dua) bentuk pendidikan karir, yaitu (1) Model Federal, dan (2) Model State. Model Federal merupakan model yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat Amerika Serikat dan telah memiliki konsep yang baku di seluruh wilayah negara. Kepekaan terhadap potensi unik setiap daerah menjadi kurang. Sedangkan Model State dikeluarkan oleh tiap-tiap negara bagian di Amerika Serikat dimana konsepnya disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing negara bagian. Hal ini baik, tetapi mengakibatkan corak lulusan yang bersifat kedaerahan dan standar lulusan antara negara bagian satu dengan yang lain berbeda-beda. Kemudian Model Federal dibagi menjadi 4 (empat) model, yaitu (1) School Based Model, (2) Employer Experience Based Model, (3)Rural Residenal Based Model, dan (4) Home Community Based Model. Model State dibagi menjadi 3 (tiga) model, yaitu (1) Wisconsin Model, (2) Hawaii Model, dan (3) South Portlan, Maine Model.
School Based Model, memiliki konsep bahwa pendidkan dilakukan di sekolah yang benar-benar terpantau, terkoordinir, dan mempersiapkan lulusan untuk bisa terjun ke dunia kerja dan benar-benar memiliki bekal yang cukup apabila ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di dalam sekolah dibentuk masyarakat yang berorientasi kerja sehingga lulusan telah benar-benar memiliki sikap kerja yang sesuai dengan kondisi di lingkungan kerja sesungguhnya. Kelemahan dari model ini adalah semua kondisi yang disajikan di sekolah adalah simulasi dari teori-teori kerja yang ada saat itu, bukan keadaan nyata lingkungan kerja. 
Employer-Experience Based Model, menekankan keterlibatan semua para aktifis atau pakar kerja dibidang tertentu untuk membentuk suatu program pendidikan. Dengan demikian, kesesuaian atau relvansi program dengan keadaan kerja sesungguhnya sangat terjamin dan up to date. Kelamahannya adalah program pendidikan lebih ke pendidikan tradisional.
Rural Resident Based Model, memiliki fokus untuk mengembangkan potensi-potensi karir setiap individu, baik yang sudah bekerja ataupun pengangguran, dan khususnya memiliki pendapatan rendah melalui pelatihan-pelatihan. Diaharpakan setiap individu memiliki keterampilan tambahan dan bisa membaca peluang kerja sesuai dengan karakter individu  dan lingkungan sehingga mampu meningkatkan taraf pendapatan. Kelemahan model ini adalah terlalu sempitnya subjek yang dijadikan target pelatihan sehingga jumlah lulusan atau kontribusi ke dalam masyarakat sangat kecil. 
Home Community Based Model, pelatihan-pelatihan yang menekankan tiap individu bisa mengembangkan keterampilannya sendiri dirumah. Pelatihan menggunakan media broadcasting seperti televisi dan radio. Hal ini sangat memberikan kebebebasan setiap individu untuk berekspresi dan bereksperimen, akan tetapi kontrol dan pengawasan terhadap perkembangan individu sangat kurang dan sulit dilakukan.
Wisconsin Model, setiap tujuan secara terstruktur dan komprehensif memiliki topik yang jelas, terinci, dan terencana hingga proses evaluasinya. Kelemahannya adalah evaluasi dijadikan penentu akhir bagi setiap tujuan sehingga kontinuitas dari tingkat satu ke tingkat lain terasa tidak ada, artinya apabila sudah dievaluasi maka tujuan tersebut dianggap selesai dan tidak dimunculkan lagi pada tingkat yang lebih tinggi.
Hawaii Model, konsep dari model ini adalah kontinuitas setiap materi atau objek pembelajaran sangat dijaga dari tingkat ke tingkat, sehingga lulusan mendapatkan keterampilan yang utuh mulai dari pengenalan, pengembangan, dan pembentukan.. Kelemahan model ini adalah area materi bersifat relatif sempit.
South Porland, Maine Model, memiliki konsep yang kompleks, berangkat dari pengenalan individu terhadap identititas individu, kemudian meluas menuju lingkungan individu, dan berakhir pada persiapan lulusan untuk masuk ke dunia kerja. Kompleksitas tersebut dipecah menjadi beberapa tujuan yang disebar ke berbagai tingkat.

Refleksi Pendidikan Kejuruan di Indonesia
Dewasa ini, pendidikan kejuruan seolah telah menjadi trend terbaru dan mulai “menampakkan” diri dalam pasang surut perkembangan dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah semakin sadar bahwa salah satu jalan cerdas untuk mengatasi polemik di dalam bangsa ini adalah dengan menghidupkan kembali konsep pendidikan kejuruan di dalam nadi pendidikan Indonesia. Pendidikan kejuruan dipercaya mampu mengatasi semua krisis multidimensi (perekonomian) yang di alami bangsa ini, terkhususnya adalah pada aspek ketenagakerjaan. Diharapkan dari pendidikan kejuruan dapat menghasilkan sejumlah besar tenaga kerja yang produktif, memiliki etos kerja tinggi, dan kompetensi yang terus berkembang sehingga bisa membuat keadaan pondasi perekonomian bangsa semakin kuat.
Berangkat dari konsep-konsep dan teori-teori komprehensif mengenai pendidikan kejuruan, pemerintah telah menelurkan berbagai kebijakan-kebijakan strategis dalam bentuk berbagai program yang selalu berkembang dari waktu ke waktu guna memajukan pendidikan kejuruan dan menyesuaikan diri dengan segala perkembangan tuntutan masyarakat. Sangat disayangkan, kondisi nyata pelaksanaan program pendidikan kejuruan tersebut masih jauh dari konsep-konsep yang ada. Hal ini bisa dikarenakan (1) pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam program belum siap atau belum mampu untuk merealisasikannya, (2) program-program yang ditawarkan tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan pandangan bahwa lulusan sekolah kejuruan berstatus useless, atau (3) respons dunia industri terhadap pendidikan kejuruan masih sangat kurang sehingga sulit terjadi link and match, (4) adanya Ujian Akhri Nasional yang dianalisa mengurangi jatah proses pembelajaran mata pelajaran produktif di sekolah dan praktik lapangan yang berimbas pada ketidakmatangan lulusan.
Saya memiliki konsep yang bisa dipertimbangkan untuk memperbaiki kualitas suatu program pendidikan kejuruan berdasarkan teori tentang pendidikan karir sebelumnya. Konsep dasarnya tetap menggunakan pendidikan karir. Pendidikan karir, walaupun memiliki kedalalan keterampilang yang notabene adalah dasar atau kulit luarnya saja, memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap keputusan akhir dari lulusan. Keputusan tersebut bisa berupa akankah lulusan langsung terjun ke dunia kerja atau akankah lulusan lebih memilih untuk memilih jenjang pendidikan yang lebih tinggi (melanjutkan sekolah). Tidak semua lulusan ingin secara langsung terjun ke dunia kerja, akan tetapi mereka tetap siap apabila by accident posisi mereka diletakkan pada kondisi harus bekerja (ready to work). Kemudian untuk modelnya adalah perpaduan anatra School Based Model dan Rural Experience Model. Perpaduan tersebut membentuk suatu kolaborasi yang rekat antara sekolah dengan perusahaan. Perusahaan sebagai wakil masyarakat sekaligus sebagai Quality Control atas relevansi isi pembelajaran di sekolah kejuruan dan sekolah sebagai Evaluator atas tujuan-tujuan akhir yang ingin dicapai. Sinergi ini diharapkan akan menumbuhkan link and match antara tuntutan dunia kerja dengan kompetensi lulusan.
Perpaduan ini tidak usai sampai disini, dalam implementasinya pemerintah memberikan kebebasan sekolah dan perusahaan, baik menggunakan model seperti Federal Models atau State Models seperti Amerika Serikat. Apabila sekolah kejuruan menggunakan Federal Model, maka sekolah harus tunduk dengan konsep-konsep strategis yang telah dibakukan dan diawasi oleh pemerintah sehingga sekolah kejuruan bersama perusahaan tidak membuat program sendiri dari nol. Akan tetapi, dalam hal ini masih diberikan keluwesan untuk memodifikasi sesuai kebutuhan hingga batas toleransi yang diberikan untuk mencegah tumbuhnya liberalisme pendidikan. Apabila menggunakan State Model, sekolah kejuruan bersama perusahaan bebas menyusun program sendiri dari nol, akan tetapi tidak bisa mengabaikan peran pemerintah sebagai stakeout dalam penyusunan program. Hal ini juga dilakukan agar tidak tumbuh liberalisme di dalam pendidikan.
Kemudian, untuk mengatasi waktu-waktu yang tersita karena persiapan Ujian Akhir Nasional, program pendidikan kejuruan 4 tahun untuk sekolah menengah atas  menurut saya adalah baik, tetapi sangat kurang realistis. Hal ini akan mengakibatkan masa studi yang harus ditempuh para siswa adalah 13 tahun hanya dengan alasan untuk menghadapi UAN, padahal di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, masa studi siswa hanya 12 tahun setelah itu keputusan ada ditangan siswa apakah dia langsung bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Akan lebih baik apabila studi pendidikan kejuruan masa pendidikannya dimundurkan, yaitu mengubah kembali masa SMP (Sekolah Menengah Pertama) menjadi STP (Sekolah Teknik Pertama) selama 3 tahun dan kemudian dilanjutkan SMK selama 3 tahun. Sehingga sekolah kejuruan Indonesia tidak hanya berlangsung selama 3 tahun tetapi 6 tahun. Dari hal ini diaharapkan siswa benar-benar telah matang dalam mengembangkan keterampilannya dan masih ada rentang waktu untuk menghadapi rentetan Ujian Akhir Nasional. 
Bila dilihat kembali, ada 3 pihak penting di dalam konsep tersebut, yaitu (1) pemerintah, (2) sekolah kejuruan, (3) perusahaan. Pemerintah sebagai pengawas (stakeout), sekolah sebagi evaluator, dan perusahaan sebagai wakil masyarakat sekaligus quality control lulusan. Kolaborasi dari ketiga pihak tersebut diharapkan mampu menyiapkan dan mengahsilkan: (1) pihak-pihak yang benar-benar berkompeten untuk menjalankan program tersebut yang secara otomatis mampu menghasilkan lulusan (tenaga kerja) yang kompeten di bidangnya masing-masing, (2) terjadi link and match yang kuat dan terpelihara antara sekolah kejuruan dengan perusahaan, (3) memberikan masyarakat pandangan yang positif terhadap kompetensi lulusan sekolah kejuruan, (4) memberikan siswa waktu yang longgar untuk mengembangkan potensi mereka di sekolah dan tidak berkesan diburu atau dihantui oleh Ujian Akhir Nasional.  Dari konsep yang memiliki fleksibilitas yang tinggi tersebut juga diharapkan mampu beradaptasi dan berjalan selaras dengan perkembangan dan perubahan pasang surut tuntutan dunia.