1.
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang Penulisan Makalah
Jawa Timur merupakan daerah yang memilki potensi industri
dan agrobisnis yang cukup tinggi yang sejalan dengan visi untuk menjadi pusat
agrobisnis terkemuka dan berdaya saing global. Global memiliki arti bahwa
daerah Jawa Timur diharapkan mampu beradaptasi atau tanggap atas segala
perubahan yang terjadi di segala aspek kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, jumlah
angka pengangguran di Jawa Timur masih cukup tinggi, yaitu mencapai 4,16%, atau
hampir 1 juta penduduk Jawa Timur masih belum memiliki pekerjaan (Badan Pusat
Statistik Jawa Timur, 2011). Hal ini memunculkan pertanyaan, apa sebenarnya
yang menjadi penyebab atas hal tersebut?. Apakah memang pengangguran tersebut
benar-benar unemployable men?, atau
sebenarnya mereka adalah employable men
tetapi tidak ada ruang atau tempat untuk mereka bekerja, atau mungkin sudah
tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki?.
Untuk menjawab itu semua, maka harus benar-benar dipahami bagaimana konsep suatu pekerjaan dan wahana macam apa yang pantas bagi para calon pekerja agar mereka benar-benar bisa menjadi employable men. Pekerjaan merupakan suatu bentuk aktifitas yang dicari manusia dimana dari aktifitas tersebut manusia bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap pekerjaan memiliki norma khusus dan praktiknya masing-masing. Kedua hal tersebut dipelajari oleh setiap individu yang terlibat didalam pekerjaan. Melalui hal ini, individu akan menemukan arti, mengidentifikasi, dan mentransformasikannya terhadap pekerjaan yang akan mereka geluti. Selain itu juga perlu dipertimbangkan mengenai dimensi sosial dan personal dalam memahami apakah terdapat pekerjaan yang dibayar, persiapan untuk terlibat dalam pekerjaan tersebut, dan masa kerjanya. (Billet, 2011:85). Saat ini, pola pekerjaan baru yang dipengaruhi dengan adanya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semakin banyak bermunculan dan telah menjadi trend masyarakat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sebuah pekerjaan memiliki kecenderungan muncul atau hilang (kadaluarsa) seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Untuk menjawab itu semua, maka harus benar-benar dipahami bagaimana konsep suatu pekerjaan dan wahana macam apa yang pantas bagi para calon pekerja agar mereka benar-benar bisa menjadi employable men. Pekerjaan merupakan suatu bentuk aktifitas yang dicari manusia dimana dari aktifitas tersebut manusia bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap pekerjaan memiliki norma khusus dan praktiknya masing-masing. Kedua hal tersebut dipelajari oleh setiap individu yang terlibat didalam pekerjaan. Melalui hal ini, individu akan menemukan arti, mengidentifikasi, dan mentransformasikannya terhadap pekerjaan yang akan mereka geluti. Selain itu juga perlu dipertimbangkan mengenai dimensi sosial dan personal dalam memahami apakah terdapat pekerjaan yang dibayar, persiapan untuk terlibat dalam pekerjaan tersebut, dan masa kerjanya. (Billet, 2011:85). Saat ini, pola pekerjaan baru yang dipengaruhi dengan adanya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semakin banyak bermunculan dan telah menjadi trend masyarakat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sebuah pekerjaan memiliki kecenderungan muncul atau hilang (kadaluarsa) seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Kemudian, sekolah
kejuruan merupakan suatu bentuk wahana pendidikan yang mempersiapkan siswanya
untuk terjun di dunia kerja dan mengisi lapangan pekerjaan yang muncul di
masyarkat sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (menjadi employable men). Penambahan SMK (Sekolah
Menengah Kejuruan) di Indonesia terus berjalan. Target pemerintah Indonesia di
tahun 2012 ada 10 ribu SMK. Penambahan tersebut tidak lepas dari besarnya animo masyarakat
yang ingin masuk SMK. Sampai sekarang sudah tercatat kurang lebih 9.300 SMK
yang sudah ada, baik negeri maupun swasta, yang tersebar diseluruh Indonesia
(Andre, 2011). Namun apakah dengan adanya penambahan SMK secara kuantitas akan
benar-benar mengurangi jumlah pengangguran baik secara makro di seluruh
Indonesia ataupun secara mikro di provinsi Jawa Timur?. Sebenarnya bagiamankah
rasionalisasi sebenarnya antara pekerjaan dan pendidikan kejuruan?.
Dari masalah yang
dijabarkan sebelumnya, maka untuk mempertajam mengenai konsep pekerjaan dan
rasionalisasinya terhadap pendidikan kejuruan, dan gambaran mengenai pekerjaan
bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur, maka penulis menyusun
makalah dengan judul: Rasionalisasi
Pembentukan Pendidikan Kejuruan Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi
Sebagai Salah Satu Jawaban Atas Peluang Kerja di Jawa Timur.
1.2
Topik
Bahasan
a. Bagaimanakah
konsep pekerjaan secara umum?
b. Bagaimanakah
gambaran pekerjaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur?
c. Bagaimanakah
rasionalisasi pendidikan kejuruan terhadap pekerjaan secara umum?
d. Bagaimanakah
rasionalisasi pendidikan kejuruan pada pekerjaan bidang teknologi dan informasi
di Jawa Timur?
1.3
Tujuan
Penulisan Makalah
a. Menjelaskan
bagaimana konsep pekerjaan secara umum.
b. Menjelaskan
bagaimana gambaran pekerjaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa
Timur.
c. Menjelaskan
bagaimana rasionalisasi pendidikan kejuruan terhadap pekerjaan secara umum.
d. Menjelaskan
bagaimana rasionalisasi pendidikan kejuruan pada pekerjaan bidang teknologi dan
informasi di Jawa Timur.
2.
Pembahasan
2.1
Konsep
Pekerjaan Secara Umum
Bekerja (work) adalah sebuah bentuk praktis pemenuhan
individu atas tuntutan-tuntutan gejala sosial yang bisa dilakukan di lingkungan
berskala kecil seperti rumah, atau skala besar seperti komunitas, tempat kerja,
atau institusi pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet, Fenwick,
& Somerville (2006:4), yaitu:
“… work is an important
culturally-derived practice that beyond exercising culturally-derived need
extends into the personal in terms of capacities and associations with
supra-personal phenomena, such as social and cultural identity.”
Untuk bekerja, setiap
individu membutuhkan wahana yang dapat “membungkus” aktifitas tersebut sehingga
dapat dijadikan sebuah identitas (identity).
Wahana tersebut disebut dengan istilah pekerjaan. Secara umum, pekerjaan
merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pokok penghidupan atau
sesuatu yang dilakukan untuk mendapat nafkah (Bahasa, 2008). Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa pekerjaan merupakan sumber nafkah dari seseorang
dan dari nafkah tersebut seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Secara khusus, terdapat
dua istilah penting di dalam penyebutan pekerjaan, yaitu vokasi (vocations) dan okupasi (occupations). Kedua istilah tersebut
sering disamaartikan, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Dari kedua
istilah tersebut dapat ditelaah secara terstruktur posisi pekerjaan sebagai
bentuk aktualisasi dari individu sekaligus dari masyarakat. Billet (2011:3)
memberikan gamabaran tentang posisi vokasi sebagai berikut:
“Personally directed and assented
but often socially derived practices, that reflect an individual’s enduring
aspirations and interests, and are usually manifested in culturally and
historically derived activities that may carry worth for both the individual
and their community.”
Kemudian Billet (2011:87)
menyederhanakan konsep tentang vokasi, yaitu:
“…vocations arise from within
individuals’ personal histories or ontogenies, the geneses of occupations are
within culture and history.”
Dari pendapat Billet
tersebut, dapat diketahui bahwa istilah vokasi lebih menitik beratkan bahwa
pekerjaan muncul dari keinginan personal atau individu, pengaruh masyarakat
sekitar sedikit sekali untuk membentuk suatu vokasi. Oleh sebab itu istilah
vokasi lebih condong disebut sebagai pengabdian, dimana kemauan individu (tekat)
lebih mendominasi tanpa memperhatikan implikasi dari pengabdian tersebut
terhadap lingkungan di sekitar individu. Di dalam vokasi tidak bisa dipastikan
ada upah atau gaji yang bersifat tetap Contoh dari vokasi adalah seseorang yang
terpanggil mengabdikan hidupnya untuk memberikan pelayanan di bidang keagamaan
dimana di dalam pengabdian tersebut tidak ada paksaan dari pihak-pihak di luar
individu tersebut. Contoh lain dari vokasi adalah seseorang yang menjadi
penebang pohon karena geografi tempat tinggalnya ada di tengah hutan, dan
dengan uang yang dia hasilkan dari penjualan kayu dia bisa membeli bahan makan
untuk sehari-hari. Dalam hal ini,
menebang pohon adalah sebuah bentuk pengabdian diri atau panggilan diri, dimana
tidak ada pihak atau aspek lain yang menuntut individu tersebut menjadi
penebang pohon selain dirinya sendiri dan tidak ada upah untuk dirinya selain
uang hasil penjualan kayu yang jumlahnya linier dengan kayu hasil tebangannya.
Di dalam perkembangannya,
aktifitas bekerja (work activity) semakin
jelas batasan-batasannya, baik dari segi upah maupaun kompetensi-kompetensi apa
yang harus dimiliki. Hal ini terjadi karena work
activity sangat erat kaitannya dengan perkembangan teknologi dan tututan
yang tinggi atas perkembangan status sosial di dalam masyarakat yang semakin
kompleks dari masa ke masa. Brown, Kirpal, & Rauner (2007:14) memberikan
gambaran tentang perkembangan work activity
yang terjadi di dalam masyarakat sebagai berikut:
“As over the past decades working
conditions have been constantly improved and legally regulated, work tasks and
duties have become clearly defined in time, space and function marking a clear
distinction from private time and leisure.”
Maka dari itu, vokasi
secara otomatis melakukan spesialisasi dan melahirkan istilah okupasi. Istilah
okupasi lebih menitik beratkan bahwa pekerjaan muncul karena ada dominasi
tuntutan masyarakat di sekitar individu dan tuntutan dari berbagai aspek lain
misalnya ekonomi, budaya, teknologi, dan lain sebagainya. Pekerjaan juga
memiliki sifat terus berkembang dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akan
selalu ada jenis pekerjaan baru dengan kompetensi baru sebagai kualifikasinya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Billet (2011:84), yaitu:
“…occupations essentially arise
from societal imperatives and cultural needs and evolve over time accordingly.”
Selain itu, ada
kepastian atau kejelasan upah di dalam okupasi baik dari segi besar upah dan
periode untuk mendapatkan upah. Sebagai implikasinya, seorang individu dituntut
untuk memiliki sekumpulan kompetensi khusus untuk masuk di dalam suatu okupasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Billet (2011:87), yaitu:
“Occupations have arisen because of
human need for particular sets of skills and capacities. This need does not
arise from within individuals, but from within collective need. It is likely
that this need arose in quite different ways.”
Karena okupasi
merupakan bentuk khusus dari sebuah vokasi maka di dalam okupasi terdapat unsur
pengabdian. Sehingga sebuah vokasi belum tentu bisa disebut sebagai okupasi,
sedangkan sebuh okupasi bisa disebut sebagai vokasi. Contoh dari okupasi adalah
seorang individu yang memiliki pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah sekolah
kejuruan dan telah diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Dalam hal ini, posisi
guru adalah sebagai okupasi karena ada upah yang jelas, baik besar upah dan
periode pemberian upah, dan ada unsur pengabdian yang muncul dari individu. Selain
itu di dalam okupasi guru, setiap individu dituntut memiliki berbagai
kompetensi khusus dimana dari kompetensi-kompetensi yang dimiliki tersebut dia
layak disebut sebagai seorang guru. Untuk lebih memperjelas tentang konsep
vokasi dan okupasi, Billet (2011:87) memberikan pendapat, yaitu:
“…vocations arise from within
individuals’ personal histories or ontogenies, the geneses of occupations are
within culture and history. This distinction differentiates between paid work
per se (i.e. occupations) and individuals’ vocations. Occupations have arisen
because of human need for particular sets of skills and capacities. This need
does not arise from within individuals, but from within collective need.”
Vokasi memiliki ciri sebagai bentuk atas
tuntutan dari individu (inidividulas need)
dan okupasi muncul tidak hanya dikarenakan individuals
need tetapi juga dikarenakan adanya tuntutan dari berbagai aspek yang lebih
kompleks (collective need). Dengan
demikian, istilah pekerjaan yang sering dipakai dalam kehidupan bermasayarakat
adalah istilah yang memiliki kesamaan makna dengan okupasi.
2.2
Pekerjaan
Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi di Jawa Timur
Teknologi Informasi
adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan,
menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan
informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat
waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan
merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan dimana teknologi
tersebut menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan
untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan
kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan
diakses secara global (Rahmana, 2009:B-13). Kemudian menurut Ristek (2006:3), teknologi
informasi dan komunikasi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi
secara umum adalah semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan,
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi.
Efisiensi dan
efektifitas penyebaran informasi merupakan alasan utama mengapa beberapa bidang
kehidupan di lingkungan masyarakat menggunakan produk-produk TIK. Dari hal
tersebut secara otomatis memunculkan 2 (dua) implikasi positif di dalam
munculnya bidang pekerjaan baru di Indonesia, yaitu: (1) bidang pekerjaan yang
selain bidang TIK tetapi menggunakan produk-produk TIK (pengguna produk TIK),
seperti bidang pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya; dan (2) bidang
pekerjaan yang muncul di bidang TIK itu sendiri (penghasil produk TIK).
Penggunaan produk-produk TIK banyak dijumpai dalam bidang bisnis, khusunya
untuk membantu efisiensi dan efektifitas administrasi yang berlangsung di
dalamnya. Pengaruh teknologi informasi dalam penerapan sistem informasi yang
terintegrasi dan dunia bisnis tidak dapat dipisahkan dan saling ketergantungan
yang erat (Wijaya, 2011:A-69). Banyak sekali tenaga kerja yang dibutuhkan dan
memiliki kompetensi untuk mengoperasikan produk-produk TIK tersebut. Kemudian
pada bidang TIK sendiri juga telah banyak muncul jemis-jenis pekerjaan baru,
misal adalah bidang rekayasa perangkat lunak, basis data, jaringan komputer,
dan lain sebagainya. Secara global hal ini juga memiliki implikasi secara
nasional yaitu, banyak industri besar di bidang teknologi informasi dan
komunikasi sudah melakukan investasi di Indonesia (IBM, Oracle,
Micrsosoft, SUN Microsystems, INTEL,
dll.) (Ristek, 2006:3).
Sebenarnya apabila
dilihat secara lebih fokus, pekerjaan di bidang teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) sangat bervariasi, menyesuaikan segala bisnis dan kebutuhan
pasar, sehingga sangat sulit untuk mencari standarisasi pekerjaan di bidang
ini. Namun, setidaknya dapat berdasarkan jenis dan kualifikasi pekerjaan yang
ditanganinya. Secara umum, pekerjaan di bidang dapat dibagi ke dalam 4 (empat)
kelompok, antara lain:
1.
Kelompok perangkat lunak (software), baik merancang sistem
operasi, database maupun sistem aplikasi. Pada lingkungan ini terdapat
pekerjaan-pekerjaan, seperti: (a) Sistem
analisis, merupakan orang yang berkompeten untuk menganalisa sistem; (b) Programer, merupakan orang yang berkompeten
untuk mengimplementasikan rancangan sistem analisa, yaitu membuat program (baik
aplikasi maupun sistem operasi); (c) Web
designer, merupakan orang yang berkompeten untuk melakukan kegiatan
perencanaan, termasuk studi kelayakan, anlisis dan desain terhadap sesuatu
proyek pembuatan aplikasi berbasis web; (d) Web
programer, merupakan orang yang berkompeten untuk mengimplementasikan
rancangan web designer; dan lain sebagainya.
2.
Kelompok perangkat keras (hardware).
Pada kelompok ini terdapat pekerjaan-pekerjaan, seperti: (a) Technical Engineer, sering juga disebut
dengan teknisi yaitu orang yang berkompeten dalam bidang teknik, baik mengenai
pemeliharan maupun perbaikan perangkat sistem komputer; (b) Networking Engineer, adalah orang yang
berkompeten dalam bidang teknis jaringan komputer dari maintenance sampai pada troubleshooting-nya; dan lain
sebagainya.
3.
Kelompok operasional sistem informasi.
Pada kelompok ini terdapat pekerjaan-pekerjaan, seperti : (a) EDP Operator, adalah orang yang berkompeten
untuk mengoperasikan program-program yang berhubungan dengan electronic data processing dalam
lingkungan sebuah peusahaan atau organisasi lainnya; (b) System Administrator, merupakan orang yang berkompeten untuk
melakukan administrasi terhadap sistem; (c) MIS
Director, merupakan orang yang memiliki kompetensi dan wewenang paling
tinggi terhadap sebuah sistem informasi, melakukan manajemen terhadap sistem
tersebut secara keseluruhan baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber
daya manusianya; dan lain sebagainya.
4.
Kelompok pengembangan bisnis teknologi
informasi. Pada bagian ini, pekerjaan diidentifikasikan oleh pengelompokan
kerja di berbagai sektor di industri teknologi informasi.
Kemudian,
menurut LSP (2011), setidaknya ada 5 (lima) jenis Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) yang membedakan tiap-tiap bidang pekerjaan di bidang
teknologi informasi dan komunikasi, yaitu: (a) SKKNI Operator; (b) SKKNI
Programmer; (c) SKKNI Jaringan Komputer dan Sistem; (d) SKKNI Computer
Technical Support; dan (e) SKKNI Multimedia. Setiap SKKNI berisi
indikator-indikator yang harus dipenuhi agar layak disebut sebagai orang yang
kompeten di bidang operator, programming,
jaringan komputer dan sistem, computer
technical support, atau multimedia.
Jawa
Timur, merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang juga mendapatkan
implikasi atas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara global
baik di bidang usaha milik negara maupun swasta, sehingga bidang usaha tersebut
banyak membutuhkan pekerja-pekerja yang berkompeten di dalam bidangnya. Hal tersebut
dibuktikan dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang dibuka dengan kualifikasi
kompetensi di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan pada data yang diperoleh dari
Indonetwork (2011), ada lebih dari 1500 perusahaan yang telah membuka lowongan
pekerjaan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pekerjaan di bidang teknologi informasi dan komunikasi sudah
menjadi trend di dalam pergerakan
masyarakat di Jawa Timur saat ini.
2.3
Rasionalisasi
Pendidikan Kejuruan Terhadap Pekerjaan Secara Umum
Pendidikan merupakan
wahana untuk membentuk dan membekali setiap
individu yang terlibat di dalamnya dengan kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup merupakan
kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses,
bahagia, dan secara bermartabat di dalam masyarakat (Anwar, 2006:20). Ada 2
jenis kecakapan hidup, yaitu general life
skill (umum) dan specific life skill (khusus),
dimana keduanya harus diberikan kepada setiap individu. General life skill merupakan kecakapan yang harus dimiliki setiap
individu agar hidup dengan baik dan membantu individu untuk memunculkan dan
mengenal identitas diri (personal
identity). Kecakapan ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu personal life skill dan social
life skill. Personal life skill lebih menitik beratkan bagaimana posisi
seorang individu sadar akan makhluk Tuhan, sedangankan social life skill lebih
menitik beratkan bagaimana posisi individu sebagai bagian dari masyarakat.
Kemudian, Specific lifeskill merupakan kecakapan khusus yang diperlukan
individu untuk menunjang kehidupannya. Kecakapan ini dibagi menjadi 2, yaitu academic life skill dan vocational life skill. Semua jenis
kecakapan hidup tersebut harus diberikan pada semua jenis dan jenjang
pendidikan yang ada. Porsi setiap jenis kecakapan akan menjadi pembeda antara
jenis dan jenjang pendidikan yang satu dengan yang lain.
Salah satu bentuk
kecakapan hidup yang harus dibekalkan kepada individu yang terlibat di dalam
pendidikan adalah kecakapan kejuruan (vocational
life skill). Di dalam kecakapan kejuruan, setiap individu benar-benar
dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan bidang pekerjaan tertentu
yang terdapat di dalam masyarakat. Kecakapan kejuruan mendapatkan posisi
minoritas di dalam lingkungan pendidikan umum dimana pendidikan umum lebih
menitik beratkan pada pembekalan jenis kecakapan hidup yang lain, yaitu
kecakapan akademik (academic life skill).
Maka dari itu, wahana yang paling tepat untuk benar-benar mempersiapkan individu
sebagai pekerja yang memiliki keterampilan pada bidang kerja tertentu adalah
pendidikan kejuruan, karena di dalamnya didominasi pembekalan kecakapan
kejuruan.
Menurut Lauglo &
Maclean (2003:6), ada 3 aspek tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan kejuruan,
antara lain: (1) Personal development
goals, (2) Socio-political goals,
dan (3) Economic goals. Personal development goals, bahwa
pendidikan kejuruan harus mengembangkan aspek moral, estetika, fisik, dan
kapasitas/ kemampuan praktik, tidak terdominasi pada aspek kognitif. Secara
garis besar konsep ini lebih dikenal dengan bagaimana membekali general life skill kepada tiap individu.
Socio-political goals, bahwa secara legal
melalui pendidikan kejuruan diharapkan mampu mematahkan penstrataan pekerja dalam
kehidupan masyarakat (sosial). Di masyarakat masih ada paradigma bahwa
pekerjaan yang mendayagunakan otak dinilai lebih bergengsi daripada pekerja
yang mendaagunakan otot. Economic goals,
melalui pendidikan kejuruan diharapakan mampu menghasilkan sumber daya manusia
terampil dan siap kerja (skilled man)
sehingga mampu menyokong perekonimian negara. Secara garis besar konsep ini
lebih dikenal dengan bagaimana membekali specific
life skill kepada tiap individu.
Aspek yang mendapatkan
porsi perhatian terbesar adalah Personal
development goals yang berisi aspek moral, estetika, fisik, dan kapasitas/
kemampuan praktik. Apabila aspek ini terpenuhi, maka kedua aspek yang lain akan
sangat mudah untuk berprogres. Pavlova (2009:41) memberikan pendapat mengenai
keutamaan nilai moral dalam pendidikan kejuruan, yaitu:
“The cognitive component leads to
an awareness of the different values and the reasons moral values should be put
first. The affective component establishes links between the technological task
and students’ feelings by situating technology in a meaningful context. The
behavioural component gives students the opportunity to act in accordance with
their moral values.”
Pada aspek Personal development goals banyak
berbicara mengenai general life skill
dimana aspek kognitif berposisi sebagai minoritas sedangkan yang mendominasi
adalah aspek afektif dan psikomotor (behavioral) yang mempunyai bermacam
indikator, salah satunya adalah moral. Moral merupakan penentu kualitas dari
output pendidikan kejuruan. Pekerja yang memilki moral kerja baik adalah
spesifikasi ideal untuk setiap pekerjaan.
Dengan demikian,
pendidikan kejuruan secara konsep dikenal sebagai pencetak pekerja sekaligus
penjawab atas tuntutan sosial atau pasar. Dari segi output, melalui pendidikan
kejuruan diharapkan mampu dihasilkan pekerja-pekerja yang benar-benar kompeten
di setiap bidangnya dan mampu memenuhi setiap kebutuhan masayarakat akan sumber
daya manusia terampil dan siap kerja (skilled
man). Dari segi input, pendidikan kejuruan bertugas membekali input-input
yang berasal dari masyarakat (unskilled
man) dengan keterampilan tertentu dan membantu mereka untuk mengenal
identitas personal dan mengarahkan sekaligus memilih pekerjaan yang cocok bagi
mereka melalui proses kejuruan (vocational
process). Kemudian, konsep pendidikan kejuruan sebagai jembatan (bridge) antara calon pekerja dengan
pekerjaan ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pendidikan Kejuruan Sebagai Jembatan antara Calon Pekerja dan Pekerjaan |
Pekerjaan sebagai
okupasi, yang dibentuk oleh gejala sosial dan para praktisi ahli, merupakan
salah satu alasan pembentuk pendidikan kejuruan. Hal ini dikarenakan, kompetensi-kompetensi
kompleks yang dibutuhkan di dalam pekerjaan harus dibekalkan kepada para calon
pekerja sebelum mereka bear-benar terjun di dalam dunia kerja nyata. Di dalam
pendidikan kejuruan, identitas diri setiap calon pekerja dimunculkan sehingga
mereka memiliki gambaran mengenai kompetensi diri dan identitas okupasi yang
koheren dengan kompetensi yang dimiliki. Identitas okupasi merupakan bentuk
nyata atau praktis dari kompetensi-kompetesi yang telah di bekalkan kepada
calon pekerja sehingga dari kompetensi tersebut muncul keahian yang bersifat
unik dan membedakan antara pekerja satu dengan pekerja lain dalam bidang
pekerjaan tertentu. Standar dari setiap kompetensi untuk setiap bidang
pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda dan penentuannya di tentukan oleh
pasar, tempat pelatihan tertentu, atau bahkan muncul secara alami dari setiap
individu sebagai refleksi atas tuntutan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Billet, Fenwick, & Somerville (2006:20), yaitu:
“Transferring these approaches to
aspects of occupational identity formation, we are confronted with the dynamics
between the institutionalised structures of labour markets, vocational training
systems and communities of practice, and the individual’s ability to choose
from and to combine certain elements of these structures for constructing her
or his occupational identity.”
Di dalam lingkungan
pendidikan kejuruan, untuk memunculkan identitas diri dan identitas kerja, para
individu (calon pekerja) harus dikondisikan dalam lingkungan yang mencerminkan
keadaan lingkungan kerja secara nyata. Maka dari itu sarana dan prasarana yang
ada di dalam lingkungan pendidikan minimal harus setara atau mampu
mensimulasikan kehidupan kerja secara nyata. Bila hal ini tidak terpenuhi, maka
kualitas output dari pendidikan kejuruan akan menjadi pekerja yang kadaluarsa
atau tertinggal karena tidak dibiasakan dengan kondisi riil di lapangan selama
berada di lingkungan simulasi (simulation
environment), yaitu lingkungan pendidikan kejuruan.
Selain menyediakan sarana
dan prasarana yang mampu mensimulasikan kondisi riil di lapangan, untuk bisa
memunculkan identitas personal dan identitas calon pekerja, pendidikan kejuruan
juga bisa melakukan hubungan kerja sama secara sosial dengan pihak luar seperti
industri untuk mendelegasikan peserta didiknya masuk ke dalam lingkungan kerja
secara nyata. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Catts, Falk, &
Wallace (2011:24), yaitu:
“Social partnerships in learning
then have a role in developing enacted learner identities and re-engaging
regional learners in formal education that meets their purposes.”
Hubungan kerja sama
antara pihak SMK dengan pihak industri
dikenal dengan istilah pemagangan. Di dalam Bahasa Inggris, istilah pemagangan
disebut dengan istilah apprenticeship,
dimana menurut Oxford (1987:16) apprenticeship
berasal dari kata apprentice yang
memiliki arti person learning a trade
atau seseorang yang sedang belajar mengenai sebuah keterampilan yang
berhubungan dengan suatu pekerjaan. Selain untuk menajamkan keterampilan yang
dimiliki oleh siswa, pemagangan juga berfungsi untuk membentuk tingkah laku
(etos kerja) siswa dan memberikan pandangan-pandangan baru mengenai pekerjaan
di bidang yang sesuai dengan kompetensinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Billet,
Fenwick, & Somerville (2006:14) mengenai sistem pemagangan yang terjadi di
Eropa, yaitu:
“For hundreds of years
apprenticeships in the crafts and trade business all over Europe had two main
functions. First, to equip a person with some basic skills that would secure an
income to sustain a family. The second function was to socialise a person into
a community of practice whereby the person would acquire not only skills, but
also internalise a certain kind of conduct and outlook.”
Pemagangan, juga
merupakan bentuk pembelajaran yang lebih efektif dari pada pembelajaran yang di
lakukan di lingkungan SMK sendiri. Siswa secara nyata bisa merasakan kondisi
riil atas pekerjaan yang sedang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Catts,
Falk, & Wallace (2011:23) mengenai banyaknya suatu hal yang akan di
dapatkan oleh siswa dalam pemagangan, seperti ilmu-ilmu yang tidak atau belum
sempat didapatkan di SMK dan suasana kerja yang bervariasi, sebagai berikut:
“Social partnerships in learning
are the interagency and interdisciplinary relationships that enable effective
learning in different disciplines, workplaces and training sites. These
relationships attempt to work across diverse knowledge systems and governance
structures.”
2.4
Rasionalisasi
Pendidikan Kejuruan Pada Pekerjaan Bidang Teknologi dan Informasi di Jawa Timur
Berdasarkan pada uraian
konsep mengenai pekerjaan dan rasionalisasinya dengan pendidikan kejuruan di
Jawa Timur sebelumnya, maka merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
mendirikan SMK bidang keahlian teknologi informasi dan komunikasi. Bukan SMK
yang hanya “sekedar ada”, tetapi SMK yang benar-benar memiliki kualitas dan
bisa dipercaya untuk mencetak pekerja yang memiliki kualitas kompetensi di
bidang teknologi informasi dan komunikasi. Karena kualitas kompetensi tersebut akan
dipergunakan untuk menjawab trend
tuntutan masyarakat atau pasar kerja saat ini yang lebih membutuhkan para
pekerja yang memiliki kompetesi di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
SMK bidang teknologi
informasi dan komunikasi di Jawa Timur harus mengadakan kerja sama dengan
bidang usaha/ perusahaan yang linier. Begitu pula dengan perusahaan bidang
teknologi dan informasi di Jawa Timur, pihkanya harus aktif (peduli/care) untuk menjalin hubungan kerja sama
dengan SMK-SMK yang linier di Jawa Timur. Diharakan dari hal tersebut akan
terjadi link and match dan memberi
implikasi positif baik bagi SMK, lulusan SMK, dan perusahaan.
Kerja sama antara SMK
dengan perusahaan bidang teknologi informasi dan komunikasi di Jawa Timur bisa
dimulai dari sistem pemagangan. SMK mengirimkan siswanya ke beberapa perusahaan
agar para siswa mengerti kondisi riil bagaimana rasanya bila harus benar-benar
bekerja di perusahaan bidang teknolgi informasi dan komunikasi. Pihak
perusahaan akan memonitor dan bertanggung jawab untuk memberikan informasi atau
pengetahuan awal mengenai perkembangan terbaru dan animo atau selera masyarakat
atas produk-produk atau layanan di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan kerja sama pemgangan, diharapkan siswa benar-benar matang dan siap kerja
atau terjun ke lapangan untuk mengimplementasikan kompetensi yang dimilikinya
pada bidang teknologi informasi dan komunikasi khususnya di daerah Jawa Timur
atau sebagai investasi Sumber Daya Manusia (SDM) akan pekerja yang berkompeten
bagi perusahaan terkait.
Berdasarkan pada
informasi yang diperoleh dari Data Pokok SMK (2011), di daerah Jawa Timur ada
615 SMK, baik negeri maupun swasta, yang membuka bidang keahlian teknologi
informasi dan komunikasi. Jumlah yang cukup tinggi tetapi masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai: (1) apakah SMK tersebut sudah memenuhi
kualifikasi sebagai pencetak pekerja yang berkompeten di bidang teknologi dan
informasi baik dari sarana, prasarana, atau hala-hal yang berkaitan dengan
manajemen pendidikan yang lain?; (2) apakah lulusannya benar-benar telah
terserap di dunia industri atau perusahaan bidang teknologi informasi dan
komunikasi?; dan (3) apakah SMK atau perusahaan yang sebidang telah saling
melakukan hubungan kerja sama dengan baik sehingga bisa memunculkan link and match antara keduanya?.
3.
Penutup
3.1
Rangkuman
a. Pekerjaan
merupakan suatu bentuk pengabdian yang membutuhkan kompetensi tertentu, ada sistem upah teratur di dalamnya, muncul
karena tuntutan kebutuhan masyarakat akan pekerja yang berkompten pada bidang
tertentu, dan bersifat selalu berkembang dari waktu ke waktu.
b. Jawa
Timur salah satu provinsi di Indonesia yang terkena implikasi perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi dimana dari perkembangan tersebut telah
memunculkan bidang pekerjaan baru yaitu: (1) bidang pekerjaan yang selain
bidang TIK tetapi menggunakan produk-produk TIK (pengguna produk TIK), seperti
bidang pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya; dan (2) bidang pekerjaan yang
muncul di bidang TIK itu sendiri (penghasil produk TIK).
c. Pendidikan
kejuruan merupakan wahana untuk mempersiapkan siswa dengan membekalinya dengan
kompetensi-kompetensi khusus, membantu mengenali diri siswa akan kompetensinya
dan pada ahkhirnya membantu siswa untuk mengenal identitas pekerjaan yang
sesuai dengan kompetensinya sebelum terjun di dunia industri secara riil.
d. Pendidikan
kejuruan bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan jawaban rasional
atas munculnya berbagai variasi peluang kerja pada bidang yang linier di Jawa
Timur yang dibentuk atas perkembangan teknolgi dan trend masyarakat atau
kebutuhan pasar saat ini.
3.2
Kesimpulan
Hajat
utama pendirian SMK bidang teknologi informasi dan komunikasi bukan sebatas pada
SMK yang hanya “sekedar ada”, tetapi SMK yang benar-benar memiliki kualitas dan
bisa dipercaya untuk mencetak pekerja yang memiliki kualitas kompetensi di
bidang teknologi informasi dan komunikasi. Apabila dilihat secara konseptual
yang kemudian dicocokkan dengan gejala-gejala faktual terkini mengenai
pergerakan trend pekerjaan di
masyarakat Jawa Timur, maka pendidikan kejuruan bidang teknologi informasi dan
komunikasi memiliki signifikansi yang tinggi untuk didirikan di daerah Jawa
Timur. Hal tersebut merupakan suatu jawaban yang logis atas variasi peluang
kerja pada bidang teknologi dan informasi di Jawa Timur yang dibentuk oleh
perkembangan teknolgi dan trend
masyarakat atau kebutuhan pasar saat ini.
Daftar Rujukan
Andre.
2011. Media Center Kendedes. Target
10 Ribu SMK di Tahun 2012, (Online),
(http://mediacenter.malangkota.go.id/2011/03/15/target-10-ribu-smk-di-tahun-2012/),
diakses 1 Maret 2012.
Anwar.
2006. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life
Skill Education): Konsep dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta.
Badan Pusat Statistik Jawa Timur. Keadaan
Ketenagakerjaan Jawa Timur Agustus 2011, (Online),
(http://jatim.bps.go.id/?cat=62), diakses 1 Maret 2012.
Bahasa.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia: KBBI,
(Online), (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php), diakses 1 Maret 2012.
Billet,
S. 2011. Vocational Education: Purposes, Traditions and Prospects. New York:
Springer.
Billet,
S., Fenwick, T., & Somerville, M. 2006. Work,
Subjectity and Learning: Understanding Learning through Working Life. New
York: Springer.
Brown,
A., Kirpal, S., & Rauner, F. 2007. Identities
at Work. New York: Springer.
Brown,
P., Lauder, H., & Ashton, D. 2011. The
Global Auction: The Broken Promise of Education, Fobs and Incomes. New
York: Oxford University Press.
Catts,
R., Falk, I., & Wallace, R. 2011. Vocational
Learning: Innovative Theory and Practice. New York: Springer.
Data Pokok SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah
Menegah Kejuruan: Kementrian Pendidikan Nasional, (Online), (http://datapokok.ditpsmk.net/
index.php? nama=&prop=05&kab=&status=&kk=02), diakses 1 Maret
2012.
Fien,
J., Maclean, R., & Park, M. 2009. Work,
Learning and Sustainable Development: Opportunities and Challenges. New York: Springer.
Indonetwork.
2011. Daftar Perusahaan, (Online),
(http://indonetwork.co.id/comp/ Jawa_Timur/Komputer_&_Software/all/0.html),
diakses 1 Maret 2012.
Lauglo,
J., & Maclean, R. 2003. Vocationalisation of Secondary Education
Revisited. New York: Springer.
LSP. 2011. Lembaga Sertifikasi Profesi Telematika,
(Online), (http://lsp-telematika.or.id/files/13-1049-2567.php), diakses 1 Maret
2012.
Oxford.
1987. Oxford Learner’s Pocket Dictionary.
New York: Oxford University Press.
Pavlova,
M. 2009. Technology and Vocational
Education for Sustainable Development.
New York: Springer.
Rahmana,
A. 2009. Peranan Teknologi Informasi Dalam Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Informasi 2009 (SNATI 2009), (Online), (http://journal.uii.ac.id/ ),
diakses 1 Maret 2012.
Ristek.
2006. Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Teknologi Informasi dan
Komunikasi Tahun 2005-2025. Jakarta: Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Republik Indonesia.
Wijaya, S.F.
2011. Pengaruh Teknologi
Informasi dan Perubahan Organisasi dalam Bisnis. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2011 (SNATI 2011), (Online),
(http://journal.uii.ac.id/), diakses 1 Maret 2012.
Willis,
P., McKenzie, S., & Harris, R. 2009. Rethinking
Work and Learning: Adult and Vocational Education for Social Sustainability.
New York: Springer.